1. Matematika bukanlah segalanya. Mindset inilah yang harus dipahami orang tua. Ada banyak hal lain yang juga tidak kalah penting untuk dipelajari oleh anak. Misalnya, kemampuan berbahasa. Toh, untuk bisa memahami soal matematika, anak juga harus bisa paham soalnya dulu, bukan?
2. Anak dikenalkan pada konsep yang kongkret. Seperti saran Weilin Han, pengamat pendidikan,“Ketika kita berkata bilangan satu, itu sebaiknya kita menunjukkan satu benda. Begitu juga, dalam mengajarkan operasi penjumlahan, ataupun perkalian, anak didekatkan pada hal yang konkret.” Ambil contoh, belajar berhitung dengan lidi, balok, ataupun menggunakan asosiasi benda yang dikenal dekat dalam keseharian anak. “Misalnya, 1 sepeda punya 2 roda, kalau 3 sepeda, ada berapa rodanya? Jangan lupa untuk dibawa ke kongkret, itu yang guru sering lupa. Anak jangan hanya di-drill dengan soal-soal bilangan yang abstrak,” jelasnya, yang menyayangkan seringnya anak dipaksa untuk menghapal perkalian tabel matematika.
3. Untuk menjauhkan fobia anak pada matematika, dekatkan anak pada angka yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dimulai dari pagi hari, saat ia bangun, menghitung berapa jam ia tidur. Saat sarapan, mengiris rotinya sambil belajar pecahan. Lalu, dalam perjalanan ke sekolah, berapa kilometer jarak tempuh dari rumah ke sekolah, dan banyak lagi contoh matematika dalam kehidupan sehari-hari. Anak pun tidak akan merasa tertekan, seperti jika ia disodori lembaran latihan soal setiap hari.
4. Biarkan anak belajar menghitung dengan jari, jika mampunya memang demikian. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ilaria Berteletti dan James R. Booth, menganalisis bahwa ternyata di otak kita ada bagian yang menjadi representasi dari kerja jari-jari, atau yang disebut somatosensory finger area. Penelitian tersebut mengungkap, ketika anak usia 8 hingga 13 tahun diberikan soal penjumlahan yang kompleks, somatosensory finger area itu akan bereaksi, bahkan ketika si anak sebetulnya tidak sedang menggunakan jari mereka.
5. Beri anak waktu untuk bermain dan berproses sesuai tahapan tumbuh kembangnya. Kematangan fisik dan sistem saraf anak juga berpengaruh pada daya berpikir anak. Merujuk pada teori perkembangan kognitif Jean Piaget, pengalaman fisik dan pengalaman matematis-logis sangat penting dalam mengembangkan pengetahuan anak. Latihan berpikir, merumuskan masalah dan memecahkannya, serta mengambil kesimpulan, akan membantu anak untuk mengembangkan pemikiran atau inteligensinya. Demikian halnya dengan kemampuan.